Budaya Rewang- tradisi nusantara yang sudah berlangsung di masyarakat sudah seharusnya dilestarikan. Local Wisdom harus tetap terjaga dan lestari, karena merupakan bagian dari jati diri bangsa-negara. Dahulu tradisi ini benar-benar murni menolong sesama manusia yang membutuhkan pertolongan dengan tanpa mengharap imbalan atau dengan imbalan sederhana, sebungkus nasi atau segenggam makanan. Seiring berjalannya waktu, tradisi berubah menjadi sebuah event organizer (EO) atau crew nikahan yang masih meminta bayaran. Transformasi tradisi pedesaan yang berlandaskan kepada nilai luhur kemanusiaan, masuk ke kawasan kota menjadi kapitalis dan mata duitan, seolah semua dapat diduitin.
Tradisi memasak secara besar-besarnya dan oleh banyak orang bertransformasi menjadi catering, seolah lebih modern, tapi ujung-ujungnya uang, profit oriented. Ketika sebuah nilai tradisi luhur yang berlandaskan pada kemanusiaan berubah menjadi money oriented, maka yang terjadi adalah materialisme, semua diukur berdasarkan materi. Bahkan manusia juga hanya fisiknya dijual untuk melayani sana-sini pada sebuah event. Padahal dalam konsep tradisi rewang, bukan sekedar fisik atau materi akan tetapi jiwa spiritual kemanusiaan yang lebih dibangun. Jiwa yang peduli ketika melihat saudaranya dalam kesusahan, jiwa yang bergerak ketika teman, saudara bahkan manusia yang tidak dikenalnya membutuhkan pertolongan. Jiwa yang selalu ingin membantu dengan batas kemampuan manusianya. Jiwa yang selalu memanusiakan manusia.